Senin, 19 Agustus 2013

MENGAJARKAN ANAK UNTUK DISIPLIN DAN MEMILIKI BUDAYA MENGANTRI


  • Seorang guru di Australia pernah berkata “Kami tidak terlalu khawatir jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai Matematika, kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.” Sewaktu ditanya mengapa dan kok bisa begitu? Apalagi yang terjadi di negara kita justru sebaliknya, inilah jawabanya :
    1. Karena kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 Tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran berharga di balik proses mengantri.
    2. Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika kecuali TAMBAH, KALI, KURANG DAN BAGI. Sebagian mereka anak menjadi Penari, Atlet Olimpiade, Penyanyi, Musisi, Pelukis dan sebagainya.
    3. Karena biasanya hanya sebagian kecil saja dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan Matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak. Memang ada pelajaran berharga apa dibalik MENGANTRI? ”Oh iya banyak sekali pelajaran berharganya!” 1. Anak belajar manajemen waktu jika ingin mengantri paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal.
    2. Anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba terutama jika dia di antrian paling belakang.
    3. Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih awal dapat giliran lebih awal dan tidak saling serobot merasa diri penting.
    4. Anak belajar berdisiplin dan tidak menyerobot hak orang lain.
    5. Anak belajar kreatif untuk memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan saat mengantri. (di Jepang biasanya orang akan membaca buku saat mengantri)
    6. Anak bisa belajar bersosialisasi menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian.
    7. Anak belajar tabah dan sabar menjalani proses dalam mencapai tujuannya.
    8. Anak belajar hukum sebab akibat, bahwa jika datang terlambat harus menerima konsekuensinya di antrian belakang.
    9. Anak belajar disiplin, teratur dan kerapihan.
    10. Anak belajar memiliki RASA MALU, jika ia menyerobot antrian dan hak orang lain.
    11. Anak belajar bekerjasama dengan orang-orang yang ada di dekatnya jika sementara mengantri dia harus keluar antrian sebentar untuk ke kamar kecil.
    12. Anak belajar jujur pada diri sendiri dan pada orang lain dan mungkin masih banyak lagi pelajaran berharga lainnya, silahkan Anda temukan sendiri sisanya. Saya sempat tertegun mendengarkan butir-butir penjelasannya.
    Nah, sekarang bandingkan dengan yang di pertontonkan para orang tua pada anaknya di negara kita dalam mengantri menunggu giliran sungguh memprihatinkan.
    1. Ada orang tua yang memaksa anaknya untuk ”menyusup” ke antrian depan dan mengambil hak anak lain yang lebih dulu mengantri dengan rapi. Sembari berkata ”Sudah cuek saja, pura-pura gak tau aja !!”
    2. Ada orang tua yang memarahi anaknya dan berkata ”Dasar Penakut”, karena anaknya tidak mau dipaksa menyerobot antrian.
    3. Ada orang tua yang menggunakan taktik dan sejuta alasan agar anaknya di perbolehkan masuk antrian depan, karena alasan masih kecil capek ngantri, rumahnya jauh harus segera pulang, dan sebagainya. Juga menggunakan taktik yang sama di lokasi antrian permainan yang berbeda.
    4. Ada orang tua yang malah marah-marah karena di tegur anaknya menyerobot antrian, dan menyalahkan orang tua yang menegurnya.
    5. Berbagai macam kasus lainnya yang mungkin anda pernah alami juga? Ah sayang sekali ya, padahal disana juga banyak pengunjung orang Asing entah apa yang ada di kepala mereka melihat kejadian semacam ini?

    Ah sayang sekali jika orang tua, guru, dan Kementrian Pendidikan kita masih saja meributkan anak muridnya tentang Ca Lis Tung (Baca Tulis Hitung), Les Matematika dan sejenisnya. Padahal negara maju saja sudah berpikiran bahwa mengajarkan MORAL pada anak jauh lebih penting dari pada hanya sekedar mengajarkan anak pandai berhitung.
    Ah sayang sekali ya, mungkin itu yang menyebabkan negeri ini semakin jauh saja dari praktek-praktek hidup yang beretika dan bermoral?
    Ah sayang sekali ya, seperti apa kelak anak-anak yang suka menyerobot antrian sejak kecil ini jika mereka kelak jadi pemimpin di negeri ini?
    Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua para orang tua juga para pendidik di seluruh tanah air tercinta.

    Untuk segera menyadari bahwa mengantri adalah pelajaran sederhana yang banyak sekali mengandung pelajaran hidup bagi anak dan harus dilatih hingga menjadi kebiasaan setiap anak Indonesia.

    Yuk kita ajari anak kita untuk mengantri, untuk Indonesia yang lebih baik.Yuk kita mulai dari keluarga kita terlebih dahulu, mau ? ? MERDEKA .. merdeka dari kebodohan, merdeka dari rasa takut........

Minggu, 18 Agustus 2013


MANUSIA (DALAM UPANISAD)
 
Manusia dalam pandangan Upanisad bukan budak atau hamba Tuhan. Bukan tikus dalam cengkraman cakar kucing , seperti dikatakn dalam sajak Amir Hamzah .
Upanisad tidak pula memperlakukan manusia seperti kuda yang harus diiming-iming dengan rumput surga dan diancam dengan pecut neraka agar bejalan sesuai dengan kehendak kusir.
Manusia tidak dibuat dari tanah liat atau dari tulang rusuk atau air kotor. Manusia tidak lahir dari kecelakaan mitologis maupun dosa teologis. Dia diciptakan dengan sengaja, karena dalam pen ciptaan ada kebahagiaan. “Dari bahagia semua ada (beings) datang , oleh kebahagian semua mereka hidup, dan ke dalam kebahagiaan semua mereka kembali”. Dan “Dimana ada penciptaan disana ada kemajuan . Dimana tidak ada penciptaan tidak ada kemajuan: ketahui hakikat penciptaan. Dimana tidak ada kebahagian , di sana tidak ada penciptaan : ketahui hakikat penciptaan 
Inti dari manusia adalah Atman, sang diri, jiwa manusia, yang menghidupkan dan menggerakan badannya , merupakan bagian dari Bahman. Dari sini lahir mahawakya “Tat Twam Asi” Itu adalah Engkau. Orang yang dapat merealisasikan Tuhan dalam hidupnya dapat berkata dalam setiap tarik nafasnya “So Ham” aku adalah Tuhan. Ucapan ini sama sekali bukan cermin kesombongan, sebaliknya orang-orang ini bersikap rendah hati, menghargai semua mahluk, mempraktekkan Ahimsa, non-kekerasan, karena di dalam semua mahluk dia melihat jiwa yang sama. Sebaliknya orang yang mngaku dirinya hamba atau budak Tuhan sering melakukan penghinaan, penghakiman dan kekerasan atas nama Tuhan.
Karena itu kejahatan yang dilakukan oleh manusia dan penderitaan yang disebabkannya , bukan karena hakikat dirinya jahat, atau karena dosa asal. Tapi karena kebodohannya. Sama dengan pendapat orang bijak dari Yunani kuno, Sokrates. Karena itu yang ditekankan oleh Upanisad adalah agar manusia mengatahui dirinya yang sebenarnya. Kata yang digunakan adalah , pengetahuan , kesadaran dan belajar untuk menagajar. Bukan percaya, tunduk , atau takut. Ketundukan, ketaatan atau kepasrahan yang disebabkan oleh ketakutan , dari aspek moral dan sepiritual memiliki nilai yang rendah. Bahkan filsuf Spionosa mengatakan, orang yang melakukan tindakan berdasarkan ketakutan hanya akan membuat dirinya dan orang lain celaka . Orang semacam ini hanya bisa mencarna dan menyalahkan orang lain. 
Badan dalam Upanisad tidak dianggap sebagai penjara atau beban yang menggandoli punggung (sarcina), tetapi kereta atau istana dimana atma tingggal. Hubungan jiwa dan badan, pkiran dan indria dilukiskan denga parabel kereta , dengan kusir , kendali dan keda-kudanya. Badan, dalam pandangan Upanisad dibuat dari prakerti, potensi materi, yang berasal dari Tuhan sendiri. Namun demikian yang menjadi fokus dalam membicarakan tentang manusia adalah jiwanya. Badan hanya bersifat sementara , yang digunakan oleh jiwa selama berada di dunia ini. Yang abadi adalah jiwa. 

Kamis, 15 Agustus 2013

TUHAN DALAM UPANISAD


Tuhan (Dalam Upanisad)
 

Tuhan dalam Upanisad disebut Brahman sering disebut sebagai yang SATU. Dia adalah satu yang ada di dalam dan di luar ciptaan.Dia diandaikan seperti api yang ada di dalam semua hal yang terbakar, kita dapat melihat api di dalam maupun diluarnya. Atau seperti udara yang ada didalam dan di luar ruangan. Orang sering menyebut yang SATU ini sebagai monotheisme. Dan karena filsafat Upanisad belum banyak di ketahui , lalu ada yang menduga konsep yang SATU ini seolah-olah mengikuti konsep monotheismeagama-agama Semitik. Ini tentu saja tidak benar. Di dalam filsafat ketuhanan,Yang satu dalam agama Semitik denggan Yang SATU dalam Upanisad adalah hal yangberbeda.
Yang Satudalam agama Simitik memiliki sifat-sifat seperti manusia, cemburu, senang,benci dan memiliki bentuk seperti manusia , seperti seorang hakim tua yang sukamencari-cari kesalahan atau raja otoriter yang memerintah secarasewenang-wenang, dari kursi di surga,jauh di luar ciptaanya. Yang SATU dalam Upanisad , ada di dalam dan diluar ciptaan. Karena sifatnya Mahaada dan Mahatakterbatas, Dia dapat tampil dalam berbagai bentuk. Inidisebut PHANTEISME, semuanya adalah Tuhan atau Tuhan ada di dalam semuanya.Tidak hanya dalam satu bentuk tetap seperti monotheisme, karena itu berartiTuhan dalam pengertian monotheisme tidak Mahaada, karena Ia hanya ada di satu tempat dan tidakMahatakterbatas, karena Ia hanya memiliki satu Bentuk.
Banyakfilsuf dan tokoh spiritual baik di Barat maupun di Timur, seperti Plotinus,Spinoza, Sri Ramakrishna, Paramahamsa , Swami Vivekananda dan Sarvepalli Radhakrisnha berpendapat bahwa,Pantheisme merupakan perkembangan lebih tinggi dari monotheisme. Monotheisme, katamereka hanya cocok bagi perkembangan spiritual pada tingkat pemula, tingkatkanak-kanak.
Sementarafilsuf lain seperti Thomas Jefferson, Thomas Paine, David Hume, AthurSchopenhauer, Arnold J. Toynbee, mengatakan monotheisme, dengan Tuhan yangcemberu mengajarkan kebencian dan kekerasan. Monotheisme membagi manusiamenjadi dua kelompok bermusuhan semacam apharteid agama: orang yang diselamatkan versus pendosa; orang beriman versus orangkafir, Dan Tuhan monotheisme memerintahkelompok pertama “menyelamatkan” kelompok kedua, menarik kedalam agamanya ,menaklukan atau bahkan meniadakannya. Tuhan monotheisme bertingkah laku sepertiseorang kepala suku jaman premitif yang hanya mebela kepetingan sukunya. Karenaitu paham ketuhan ini menimbulkan konflik paling berdarah sepanjang sejarah.
SebaliknyaTuhan dalam pantheisme tidak memihak , karena Dia ada dalam setiap , danseluruh ciptaan. Dalam aspeknya sebagai Isvara, Saguna Brahman, Tuhandigambarkan memiliki sifat –sifat, seperti SATYAM, SIVAM, SUNDARAM. Kebenaran, kebaikan, Keindahan. Tuhan dalam Upanisadtidak menghukum siapapun. Tuhan dalam Upanisad tidak menununtut orang untuk memujanyadengan iming-iming hadiah sorga atau ancaman neraka. Bahkan mereka menolakTuhan tidak dikutuk masuk neraka jahanam. “Siapa yang menolak Tuhan, menolakdirinya sendiri. Siapa yang menerima Tuhan , memrima dirinya sendiri.

(Diambildari Buku :Upanisad Himalaya Jiwa, Juan Mascaro & Swami Harshananda)

Sabtu, 10 Agustus 2013




KEJAWEN
“Permata” Asli Bumi Nusantara yang Selalu Dicurigai
Dan Dikambinghitamkan


Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai

Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang tengah bertarung di negeri ini.


Selain itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial, pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa. Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan contoh perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh, kyai yang menghamili santrinya, dst.


Tidak berhenti disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan, sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb;


Klenik :

merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibatyang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.


Mistis :

adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.


Tahyul :

adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta. Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.


Tradisi :

dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan.


Kejawen :

berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yg luhur, “pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane, justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.


Ajaran Tentang Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati

Dalam khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupatembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst.


Dua Ancaman Besar dalam Ajaran Kejawen

Dalam ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.


Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan



NAFSU

Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapaatau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.


Tapa brata ; sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal dari lima indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.


Tapa ngrame; adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.


Tapa mendhem; adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka pamer, pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua kejahatan yg pernah dilakukannya.


Tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan, seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewalerkaidah tata krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan “daratan”.


PAMRIH

Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat.


Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya. Untuk itu pentingSabdalangit kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam perspektif


KEJAWEN :

Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.

Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.

Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.

Kamis, 08 Agustus 2013

Pura Luhur Poten Gunung Bromo (jejak sejarah Hindu Majapahit)


Bak Pengawal yang Setia, Suku Tengger yang tinggal di Kawasan Bromo-Tengger memiliki peranan penting dalam menjaga keluhuran adat dan kesucian kawasan Bromo-Tengger-Semeru. Suku Tengger merupakan sebutan bagi Suku Asli yang mendiami Tengger (dikenal sebagai tanah hila-hila / suci) sejak jaman kerajaan MAJAPAHIT, para penghuninya dianggap sebagai abdi dibidang keagamaan. Mereka hidup sederhana dengan mengandalkan hasil pertanian dan perkebunan, dan memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang rendah. Yang membedakan dengan suku Jawa pada umumnya, misalkan bahasa daerah yang mereka gunakan sehari hari adalah Bahasa Jawa Kuno. Sampai saat ini mayoritas Suku Tengger masih menganut Agama Hindu Jawa. Adat istiadat dan budaya para leluhur suku Tengger sangat dipegang teguh hingga kini. Hal ini Tercermin dari masih Lestarinya berbagai macam upacara/ritus keagamaan asli dari Hindu Tengger. Upacara adat suku Tengger terdiri dari (1). Upacara adat yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat suku Tengger, seperti : Hari Raya Karo, Yadnya Kasada dan Unan-Unan, (2). Upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang, seperti: kelahiran (upacara sayut, cuplak puser, tugel kuncung), menikah (upacara walagara), kematian (entas-entas dll), (3).

"...Pure Luhur Poten Bromo..."
Upacara adat yang berhubungan dengan siklus pertanian, mendirikan rumah, dan gejala alam seperti leliwet dan barikan. Upacara YADNYA KASADA merupakan ritual tahunan yang dilaksanakan pada malam ke-14 Bulan Kasada. Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Pendopo Agung Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul 24.00 dini hari diadakan pelantikan Mangku Dukun yang baru dan pemberkatan umat di Pura Poten lautan pasir Gunung Bromo. Mangku Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan, sebelum dilantik para Mangku harus lulus ujian, acara ini biasa disebut dengan Mulunen. Mulunen dilakukan bila dukun sebelumnya meninggal atau sudah tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai dukun. Pengujian di Pura Luhur Poten Bromo ini merupakan tahap paling berat bagi peserta. Dilakukan tepat pukul 2.00 dini hari, saat kabut tebal menutupi pura. Pengujian dilakukan satu persatu, dipandu koordinator dukun Tengger. Sang calon dukun harus membacakan dua bab mantra kesadha tanpa putus, di hadapan para dukun senior dan umat Hindu Jawa Suku Tengger yang sedang mengikuti acara kesadha. Bukan ujian yang mudah, karena mantra yang harus diucap bisa 1 jam panjangnya.

"...Upacara Yadnya Kesada Masyarakat Bromo Tengger..."
"masyarakat Hindu Tengger sedang melaksanakan ritual mecaru menyambut hari raya Kasodo keesokan harinya..."
Bahasanya pun bahasa Jawa kuno dan tidak boleh terputus atau lupa. Selain Kawah, Pura Luhur Poten Bromo dan Gua Widodaren merupakan salah satu tempat penting dalam ritual masyarakat Tengger. Selain sebagai tempat bersemedi, tepatnya di bagian samping gua terdapat sumber air yang tak pernah kering. Menurut kepercayaan masyarakat Tengger air dari sumber tersebut merupakan air suci yang mutlak diperlukan bagi peribadatan mereka, Upacara pengambilan air suci dari Gua Widodaren (Medhak Tirta) dan persembahyangan di Pura Poten Bromo adalah bagian ritual Upacara Kasada. Kemudian, Masyarakat Tengger berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka, Roro Anteng dan Joko Seger. Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai Kaul atau Terima Kasih mereka terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan yang maha kuasa atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah.
                                                                        "... jaba Pura luhur Poten, saat tirtayatra 21 juli 2013..."

Kampung Bali di Kabupaten Serdang Bedagai Sumut

 Tak perlu jauh-jauh ke Pulau Bali jika hanya ingin merasakan suasana serta mengetahui kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu Bali. Karena di Sumatera Utara juga terdapat sebuah Kampung Bali. Letaknya di Desa Pegajahan, sekitar 12 Km dari kota Perbaungan, Sumatera Utara. Disini Bermukim komunitas etnis Bali yang masih taat akan tradisi.

Banyak orang yang berasal dari beberapa kota yang sengaja datang untuk melihat tempat ini. Hanya sekitar 2 Jam saja dari kota Medan untuk sampai ke Desa Pegajahan.

Menurut ceritanya, warga Bali yang tinggal di Sergai ini adalah para buruh kontrak yang didatangkan langsung dari Pulau Bali oleh perusahaan perkebunan PTPN IV Adolina sekitar tahun 1962. saat itu ada sekitar 53 KK atau 200 jiwa yang bermukim di Desa Pegajahan. Komunitas ini hidup berdampingan dengan sejumlah buruh perkebunan lainnya yang memang berasal dari bermacam-macam etnis. Ada Jawa, kalimantan, Simalungun, Tapanuli dan Melayu. Walau jau dari kampung halaman, namun komunitas ini tetap mempertahankan adat istiadat dan keyakinan mereka. Sekitar tahun 1989 didirikan sebuah Pura yang diberi nama Pura Panataran Dharmaraksaka yang fungsinya sebagai tempat ibadah umat hindu bali yang ada di desa tersebut.

                                                                                                    "... gapura /gerbang masuk ke kampung bali di desa pegajahan..."


Pura Panataran Dharmaraksaka ini, ramai dikunjungi setidaknya dua kali dalam sebulan oleh umat Hindu Bali untuk beribadah pada waktu Purnama dan Tilem (Bulan Gelap).

Pura ini sendiri di rawat oleh seorang kakek yang bernama I Made Widia. Kakek I Made Widia merupakan orang Hindu Bali Asli dan ia merupakan orang tertua didalam komunitas etnis bali di Desa Pegajahan ini. Menurut kakek ini, warga Hindu Bali yang bermukim di desa Pegajahan sampai saat ini (agustus 2013), hanya tinggal sekitar 11 kepala Keluarga atau lebih kurang 30 jiwa saja.

Keunikan yang ada di Desa Pegajahan ini merupakan daya tarik sendiri untuk orang-orang mengunjungi tempat ini serta dapat dikatakan sebagai Wisata Budaya yang bermanfaat.                                 keterangan foto : paling kanan Kakek I Made Widia, no 2 dari kanan Pemangku Pura