Kamis, 30 Oktober 2014

Upacara Pelebon Ibunda I Dewa Ayu Raka (sabtu, 25 oktober 2014)

kajangsari, rangkaian upacara pelebon
ibunda tercinta
menuju setra, tmpt pembakaran jenasah

foto bersama istri & anak2ku 

Jumat, 11 Juli 2014

PEMANGKU & BALIAN

PEMANGKU dan BALIAN


”Pemangku & Balian” sesungguhnya mempunyai makna dan fungsi yang berbeda, dimana dewasa ini di masyarakat pengertian kedua tugas ini menjadi kabur. Masyarakat banyak yang tidak faham perbedaannya sehingga kepada Pemangku datang nunas tamba dan kepada Balian rawuh nunas pemuput (nganteb) suatu upacara. Kekeliruan ini juga bukan sepenuhnya menjadi kesalahan masyarakat karena banyak juga Pemangku yang menggunakan standard ganda artinya nganteb ”ya”, me-tamba(ngusada) ”nggih”. Kekeliruan dilingkungan Pemangku ini kadang juga karena ketidak jelasan pemahaman ”nunasang” dengan ”nambanin”. Dalam lontar Raja Purana Gama serta ketetapan Mahashaba II disebutkan yang tergolong Eka Jati (melalui Pawintenan) disebut ada 12 jenis Pemangku, termasuk disini Pemangku Balian, Pemangku Undagi, dll padahal banyak Balian yang tanpa melalui Pawintenan dan melakukan praktek Ngusada, sehingga maknanya menjadi rancu, itulah sebabnya dalam tulisan ini dipisahkan pengertian Pemangku dan Balian secara fungsionil dan prakteknya, walaupun tidak mudah membedakannya karena ini menyangkut hati nurani, terkait niskala, dan pemahaman masyarakat atau Pemangku dan balian tersebut yang akan tergantung kepada atmanastuti (manah/keneh). 

Berikut disampaikan perbedaan Pemangku dan Balian secara sederhana, menurut lontar Widhisastra kata Pemangku diuraikan menjadi ”PA” bermakna Pastika/pasti, yang artinya paham akan hakekat kesucian diri, dan ”MANG” bermakna wruh ring tata-titining agama (paham mengenai pelaksanaan ajaran agama). ”KU” bermakna kukuh ring Whidi (teguh dan konsisten berpegang kepada Hyang Widhi). Dengan makna diatas, maka kalau dirangkum seorang Pemangku adalah dia yang faham akan hakekat kesucian diri sehingga mampu menjalankan tri kaya parisudha, prema (cinta kasih), menjalankan ajaran bhakti, catur Yoga, dan ajaran lainnya serta mampu merealisasikan ajaran agama kepada fihak lain baik dalam pengertian tattwa, susila, serta upakara dalam bentuk pemuput atau Nganteb suatu upacara sebatas wewenang tugasnya. Sementara itu ”Balian” atau ngewaliang (mengembalikan) melakukan fungsi mengobati (ngusada) dengan kemampuan yang dimiliki untuk kesembuhan orang yang mempercayakan dirinya pada Balian tersebut. Dilingkungan suku Dayak Maratus ada Upacara Adat Balian maksud dari dilaksanakannya upacara tersebut adalah dalam rangka meminta kepada Yang Kuasa agar Desa (kampung) dari komunitas suku Dayak Maratus terhindar dari segala hal yang tidak diinginkan (Pembersihan Kampung). Sehingga difinisi Balian disini adalah orang yang bekerja pada upacara adat Dayak yang bertugas untuk berurusan dengan Dunia Atas dan Dunia Bawah dari para roh manusia yang telah meninggal. Balian juga dapat bertugas memanggil sangiang sebagai juru damai dalam suatu peristiwa yang menjadi topik pada suatu upacara adat, tugas ini seperti yang dilakukan oleh tukang tawur dalam upacara adat tersebut. Dengan beberapa contoh diatas terlihat perbedaan makna ”Pemangku dan Balian”.


Dari sisi proses pendalaman ajaran, Pemangku akan banyak belajar : Puja Stawa, jenis upacara serta upakaranya, dan menjaga kesucian diri seperti yang juga dilakukan oleh Balian, dan semua yang dilakukan Pemangku dan Balian adalah untuk peningkatan kesucian diri. Balian biasanya mempelajari Lontar Usadha, seperti : Lontar Kelima Usada, Kelima Usadi, Usada Sari, Usada Punggung Tiwas, Usada Kuranta Bolong, Usada Cukil Daki, Usada Taru Premana, dan lainnya, jadi pakem belajarnya berbeda. Seorang Balian dan praktisi rohani lainnya jika dalam prakteknya nafsu lebih berkuasa, maka muncullah istilah aliran kiri dan aliran kanan. Aliran kiri ini sering disebut Nge-Leak, walaupun dalam beberapa tulisan pengikut Leak mengatakan, bahwa kegiatan mereka adalah aktifitas rohani sehingga jika ada yang menyimpang itu karena manusianya atau yang tidak faham dengan Leak itu sendiri. Disebutkan, bahwa ada tingkatan-tingkatan pelajaran sama seperti para penganut ke-rohanian lainnya, seperti :Tingkat mengendalikan pernafasan, di bali dan bahasa lontar di sebut MEKEK ANGKIHAN, atau PRANAYAMA. Tingkat "NINGGALIN SANGHYANG MENGET" atau VISUALISASI. Tingkat melindungi diri dengan tingkah laku yang halus serta tanpa emosi dan dendam, di ajaran ini di sebut "PENGRAKSA JIWA. Tingkat kombinasi antara gerak pikiran dengan gerak tubuh, dalam bahasa yoga di sebut MUDRA, karena mudra ini berupa tarian jiwa akhirnya orang yang melihat atau yang nonton di bilang " NENGKLENG ( berdiri dengan kaki satu ). Mudra yang dipelajari persis seperti tarian siwa nata raja. Tingkat MEDITASI, disebut " NGEREGEP, yaitu duduk bersila tangan disilangkan di depan dada sambil mengatur pernafasan sehingga pikiran tenang...atau ngereh, dan ngelekas.Tingkat melepas roh ( MULIH SANGHYANG ATMA RING BAYU SANDA IDEP ) melalui kekuatan pikiran dan batin dalam bahasa sekarang disebut LEVITASI, berada di luar badan. Jadi proses yang dilakukan adalah proses peningkatan rohani. Bagi seorang Pemangku juga Balian umumnya mengenal dasa aksara atau yang umum di jabarkan dengan: SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, YANG. ilmu ini adalah dasar dari sepuluh prana atau DASA BAYU. dasa aksara ini mempunyai arti memuliakan dewa SIWA, seperti SAGORA, BAMADEWA, TATPURUSHA..dan selanjutnya. Dasa aksara ini murni dibawa oleh aliran SIWA SHIDANTA dan bagian untuk mencapai pencerahan batin melalui aksara tersebut. Dasa aksara lebih banyak akan mengakses kedunia kerohanian bukan KAWISESAN/KANURAGAN...sehingga dasa akasara ini akan mencapai puncaknya apabila seseorang memurnikan batinya melalui dasa yama brata, dan ini murni ilmu kerohanian.

Dengan penjelasan diatas , maka ciri-ciri utama seorang Pemangku dan seorang Balian dapat dibedakan dengan jelas, sehingga seorang Pemangku seharusnya tidak melakukan fungsi Ngusada (mengobati) namun dapat melakukan fungsi ”Nunasang (memohonkan)” jika ada orang yang minta tolong kepada Pemangku, jadi Pemangku tidak berkaitan dengan ”Kawisesan/kanuragan” karena keyakinan seorang Pemangku, bahwa yang sakti itu adalah ”Hyang Widhi”. Seorang Balian mungkin akan mengatakan hal yang sama, bahwa mereka juga memohon kepada Hyang Widhi, bisa jadi benar, namun ketika ada orang yang datang dan minta disembuhkan dan melakukan berbagai upaya untuk kesembuhannya dengan kekuatannya (bukan kekuatan Hyang Widhi), maka itulah kawisesan. Apalagi jika ada yang minta tolong untuk membuat suami takut, atasan jerih, tetangga sakit, dan permintaan dipenuhi oleh balian, maka ini disebut ”me-alih-alihan (mencari rejeki). Perbedaan Pemangku dan balian dalam tulisan ini hanyalah teoritis, definitif, dimana dalam prakteknya tidak mudah bagi Pemangku dan balian tersebut untuk memisahkannya, untuk itu melalui tulisan ini penulis menggugah bagi Pamangku maupun Balian, untuk mendalami makna MAWINTEN yang berasal dari Bahasa Kawi (Jawa Kuno) artinya : mawa = bersinar-sinar; inten = permata; sehingga arti lengkapnya : bersinar-sinar bagaikan permata, yang bertujuan mohon "waranugraha" Hyang Widhi untuk memberikan kesucian bathin kepada kita yang di winten, maka sudah sepantasnya hanya mengabdi pada Hyang Widhi dan yakin, bahwa hanya Hyang Widhi yang sakti. Om Ksama sampurna ya namah swaha.

Rabu, 09 Juli 2014

PILPRES 2014


: DARI KOALISI HITAM, KAMPANYE HITAM, DEMOKRASI HITAM SAMPAI KEPADA QUICK COUNT HITAM ::.
KOALISI HITAM: koalisi PARPOL yg terdiri dari tersangka HAJI oleh SDA (PPP), Kasus Hambalang oleh PD, Mafia Migas oleh PAN, Kasus Lapindo oleh ARB (PG), Kasus Import Daging Sapi oleh PKS, Kasus SKRT oleh MK (PBB) dan Penculik Aktivis 97/98.
KAMPANYE HITAM: semua tudingan fitnah bertubi2 dilemparkan kepada Jokowi dari kafirlah, turunan cinalah, antek cinalah, antek amerikalah, antek yahudilah, sampai tuduhan PKI.
DEMOKRASI HITAM: Demokrasi liberal saja masih menghormati nilai-nilai etis. Ini etika dan profesionalitas jurnalistik saja di'bunuh' dgn tampilnya Tabloid Obor Rakyat dll. Netralitas TNI/ POLRI pun patut dipertanyakan dengan statementnya Jend. (Purn) Prof. Hendropriyono yg mengatakan bahwa ia mengantongi 9 nama yg salah satunya ada Wamil 2003. Netralitas PENYELENGGARA PEMILU pun patut dipertanyakan dengan kasus Pemilu di Hongkong. Dan yang lebih ironisnya adalah Lambang Negara GARUDA PANCASILA dirubah seenaknya menjadi GARUDA MERAH.
QUICK COUNT HITAM:
Skandal Quick Count TVONE Terbongkar:
Semula tvOne meneken kontrak dg PolTrack - Hanta Yudha utk menayangkan hasil quick count. Tiba2 sehari sebelum hari pencoblosan, masuk 3 lembaga lain tanpa data lapangan yg jelas: LSN, Puskaptis dan satu lagi entah apa namanya
Ternyata, hasil quick count tidak ditayangkan tvOne karena Hanta menolak diatur-atur, yang ditampilkan hanya LSN cs. Hasil quick count Hanta Yudha kurang lebih sama dg SMRC, Indikator, LSI, Populi, dan Kompas.
Setelah kampanye hitam, sekarang ada quick count hitam....ck ck ck...
Ide nya sederhana yakni:
Inputnya HITAM ==>> Prosesnya HITAM ==>> Hasilnya HITAM.
SOLUSINYA:
Hanya HUKUM yang bisa menjadi PANGLIMA nya.
A. USUT TUNTAS, TANGKAP DAN ADILI:
1. Siapapun pelaku KORUPTOR & PELANGGAR HAM di bidang kemanusiaan maupun di bidang sosial ekonomi di KOALISI HITAM.;
2. Siapapun yang melakukan KAMPANYE HITAM dan DEMOKRASI HITAM serta QUICK COUNT HITAM.
B. Kawal terus hasil perhitungan suara dari tingkat PPS, PPK sampai ke tingkat Pusat. Catat, rekam, upload dan bagikan secara masif sampai tanggal 22 Juli 2014. RAKYAT BERSATU, TAK BISA DIKALAHKAN.
Agar kita bisa mengembalikan MARWAH Indonesia sebagai NEGARA DEMOKRASI KONSTITUSIONAL.
Mari kita jadikan HUKUM SEBAGAI PANGLIMA untuk menentukan arah demokrasi kita kembali kepada DEMOKRASI PANCASILA....

Sabtu, 05 Juli 2014

UPACARA PELEBON IDA I DEWA AGUNG ISTRI PUTRA

Pelebon/ngaben (kremasi) Ida  I Dewa Agung Istri Putra, permaisuri Raja Klungkung Bali yang terakhir (Ida IDewa Agung Oka Geg). Upacara dilaksanakan pada hari minggu, tanggal 29 juni 2014..  Upacara Pelebeon yang digelar Puri Klungkung itu adalah puncak dari rangkaian prosesi yang berlangsung sejak desember 2013. Ini adalah puncak dari prosesi pelebon atau pretiwa dari permaisuri Raja Klungkung yang meninggal desember 2013.

Sabtu, 31 Mei 2014

"KUNINGAN"


Kuningan Dari Perspektif Logika dan Astronomi
Suara Hindunesia (31/05/2014),
Om swastyastu,
Hari suci Kuningan, yang baru sebagian besar dirayakan oleh umat Hindunesia dari etnis Bali bisa dipahami dan dimaknai secara jelas dan logis oleh etnis Hindunesia lainnya agar tidak terkesan bahwa etnis Bali ingin menyamakan hari suci mereka untuk umat Hindunesia dari etnis lain.
Kalau kita tinjau dari makna, Kuningan, berasal dari kata "ka-uning-an" (bahasa Bali), yang artinya memberitahukan, mewujudnyatakan bhakti kita kepada para leluhur (Pitara, Dewa Hyang, Dewa Pitara, Bethara, Dewa dan juga Hyang Widhi Wasa). Hari suci ini merupakan bentuk bhakti dan cinta kasih umat Hindu kepada para pendahulu mereka yang datang saat hari suci ini dalam bentuk sinar suci mereka.
Hari suci ini sebenarnya boleh dirayakan secara universal oleh semua umat Hindunesia, tentunya dengan tradisi dan ritual yang disesuaikan dengan Desa, Kala dan Patra.
Karena pada intinya hari ini adalah hari suci saat "spirit suci" para leluhur kita turun ke mecapada (dunia) untuk mengunjungi preti sentana (umat manusia yang percaya akan spirit itu). Dan oleh karena itulah kewajiban kita menyambut dengan persembahan dan bhakti suci dalam bentuk yang kita bisa wujudkan agar kita bisa tetap "eling" akan jati diri kita dan darimana kita dihadirkan. Hari suci ini mirip dengan hari Deevali (Diwali) bagi etnis India yang merayakannya dengan sangat meriah dan mendunia,
Secara astronomi (hukum perbintangan), hari Saniscara Kliwon Wuku Kuningan adalah posisi dimana saat ini Planet Saturnus (Planet Sabtu - Saturday - Saniscara) berada pada posisi vertikal dengan Venus dan Uranus menuju ke jagat raya (macro cosmos), sehingga merupakan jalan bagi spirit suci untuk dapat melewati belahan bumi terutama pada wilayah Hindunesia (sentral - katulistiwa). Empat planet ini mengambil posisi strategis sebagai jalan spirit suci untuk melakukan "perjalanan" di jagat raya ini.
Saat ini adalah saat yang baik untuk melakukan puja bhakti kepada spirit-spirit suci itu sehingga kita bisa memohon energi kesucian dari mereka. Ada baiknya puja bhakti ini kita lakukan sebelum tengah hari sehingga saat itu spirit suci itu tepat berada di bumi.
Selain itu Kuningan juga berarti KUNING (yellow) yang merupakan pertanda munculnya planet KUNING (Saturnus) pada posisi tegak dengan bumi kita ini. Kita ketahui sebagian besar sajian kita saat hari raya ini didominasi oleh warna kuning.
Kuning juga bermakna sebagai simbul kemunculan Dewa Mahadewa di posisi Barat yang membentengi kita dari rasa takut, iri dengki dan rasa cemburu. Sungguh sebuah telahaan makna yang bernilai filsafat dan logika tinggi dari para leluhur kita yang membuat hari suci ini benar-benar SUCI adanya.
Berikut kami sertakan gambar posisi planet pada hari suci ini, untuk melihat secara jelas posisi keempat planet itu dalam satu garus vertikal yang sangat baik untuk mendapatkan energi kosmis yang suci.
Selamat merayakan hari suci Kuningan semoga spirit suci dari leluhur memberikan jalan terang dalam membangun KESADARAN DHARMA bagi semua umat manusia.
Rahayu.
Suka ·  · 

Minggu, 04 Mei 2014

just want to share this great moment

Dubes RI untuk India, Rizali W Indrakesuma lagi santai bernyanyi bersama gitaris Dewa Budjana dkk

Minggu, 27 April 2014

Rabu, 08 Januari 2014


Dewa Budjana

I guess there’s always time and good mood in order to get to know a new artist and listen to some, out of the ordinary, nice music. I happened upon the guitarist, composer & producer Dewa Budjana, who is from Indonesia, a little time ago and I thought that it would be a good idea to present him in the Western world so as to hear a different voice and his viewpoint about music. Dewa talked to Grande Rock about his future plans, his cooperation with some renowned musicians and his “cosmopolitan music” as he likes to call it…
Dewa Budjana pic

Greetings Dewa. It’s a pleasure talking to you as it gives a chance for European and US music fans to get to know you better. I must also say that I think your latest album “Joged Kahyangan” is a great piece of art!

D: It’s my pleasure as well.


I know that you’re a renowned musician in your country mostly due to your pop-rock act GIGI, but your musical quest cannot be covered with only one kind of music, can it?

D: I grew up listening to many musical styles... rock, pop, jazz, fusion, prog, indigenous ethnic music from Indonesia... so I do not divide music into genres but in what’s closer to my musical sensibility, and that’s very diversified.


So what music style do you prefer to play and where do you find the most freedom?

D: I equally enjoy performing and recording with my pop-rock band GIGI and performing and recording my progressive jazz projects: it’s all my music because I play my own original tunes. The definition of freedom is possibly more expressed in my progressive jazz side, but I do enjoy great artistic freedom when I perform pop-rock as well.


I think it’s great that MoonJune Records has given music devotees the chance to hear your music. What do you bring to their table?

D: I am trying to blend the ethnic heritage roots of my native Bali and my country Indonesia, which is a unique mix of many different cultural and ethnic influences. When performing jazz, now in collaboration with MoonJune Records, I try to blend my music with that from the West and that of the various jazz and fusion masters who I’ve recorded with lately, such as Larry GoldingsPeter ErskineDave CarpenterBob MintzerJimmy Johnson and Vinnie Colaiuta. Then there are those I’ll record with in the future, such asAntonio SanchezBeledo and hopefully some of my heroes such as Ralph TownerJan GarbarekLyle Mays and many more.


I’ve noticed that the ethnic features are fewer in your latest work and that you’ve focused more on the Western style. Is that to make your music more appealing to US & European fans?

D: For me it is important to introduce my music to the world outside of Indonesia via MoonJune records andLeonardo Pavkovic, MoonJune’s boss. He has an immense knowledge of music and knows people in all corners of the world. We are also very close friends, and we have so much in common when it comes to music, especially our love for ECM, jazz, fusion, progressive rock and much more.

It’s true that my last two projects, “Joged Kahyangan” and the upcoming one, “Surya Namashkar”, have less ethnic influence from Bali or Indonesia than my previous works. However, if I introduce music rooted in my ethnic heritage or if I play my music using just the western music vocabulary, it really doesn’t matter. And what happens in the future doesn’t matter either because music, whatever it is, will happen organically, with or without ethnic influences.

Of course, it’s also important that people around the world get more familiar with the music of my country and I often use instruments such as kendang for percussion orsuling which is a bamboo flute.

I am pleased that my last two albums on MoonJune are getting so many reviews around the world because I know it’s difficult for someone like me living in Indonesia and not in one of the world’s music capitals, such as NYC, Los Angeles, London, Paris, Berlin or Amsterdam. But I understand too that it’s a process and with Leonardo we are looking at the bigger picture. We have a long term vision, and are not in a hurry; I am very confident that things will take care of themselves.



Although Dawai in Paradise first came out in Indonesia in 2011, it was released on MoonJune in March, and Joged Kahyangan just six months later! Why was that? Don’t you think that it would have been better to allow some time between releases so that the fans get into your music?

D: For Leonardo, “Dawai in Paradise” was released to test the market and to introduce my name among his contacts, in specialized media and among fans. The MoonJune version has two bonus tracks, and we collected an impressive amount of reviews in over 25 countries worldwide, a lot of airplay including the BBC, VPRO national Dutch Radio, and major German stations such as Radio Berlin and Radio Bremen. It was a good introduction, so I’m happy.

I have so much music to play and record and because it is important to get the music out, we are scheduling two albums a year. I would like to record and play more and more with American and European musicians. Music of this kind may not sell, but it really doesn’t matter. What does is offering great music to new, and old, fans. As I’ve said, things will happen in an organic natural way.



You’re working on a new album now to be released in the Spring of 2014. It’s like a “music orgasm”, isn’t it?

D: Yes, that’s true. For me artistic creativity is most important, particularly when I feel inspired to create and record new music. There will also be another album released in the Fall 2014.


Please tell us about the new album and recording it in Los Angeles.

D: I recorded the first session of the new album, to be called “Surya Namashkar (The Tree of Life)” in January this year at the A&M (Henson) studio with a dream rhythm session (section?) team: Vinnie Colauita & Jimmy Johnson. It was recorded by a very well-known engineer, Robert Feist, who recorded classic albums of my guitar hero, the legendary Allan Holdsworth (“Road Games”, “I.O.U.”, “Metal Fatigue”, “Attavachron”, “Sand”, “Secrets”), who is managed by Leonardo.

We recorded 5 tunes, and then I went back in October to another studio in Los Angeles and we cut another 3 tunes, with Gary Husband contributing keyboards on one tune and Mike Landau contributing additional guitar on another. Everything was recorded live in the studio, and virtually all were first takes, although in some cases we did another take, just in case. With musicians of such caliber as Vinnie and Jimmy Johnson, you cannot go wrong: whatever they play is simply amazing.

The album was self-produced and there was good chemistry between us in the studio, and both timesLeonardo came from NYC specifically to give me support. He is also a dear friend of Jimmy Johnson who he’s worked with for many years when booking Allan Holdsworth worldwide. Robert Feist gave me a lot of support, and the music between the three of us just flowed organically and magically. I’d sent both musicians the charts in advance but we are talking about some of the greatest musicians you can wish for, and they’re also amazing and cool people.



OK, back to Joged Kahyangan again. Is it true that you recorded it in a single day without any rehearsals? How was that for a musician like you? Have you done it before?

D: Yes, “Joged Kahyangan” was recorded in a single day at Firehouse studio in Pasadena, Los Angeles. This was the first time I’d recorded live in studio and with this combination of instruments; besides bass guitar and drums, we had saxophones and clarinets and keyboards, piano and Hammond organ. All the musicians had charts in advance, and we didn’t rehearse. We did first takes, which was a sort of rehearsal, and then did another take, but some tunes on the album are first takes. Again, we are talking about world class musicians, and again, the chemistry in studio was great and I had recorded previously with Peter Erskine.(i.n.: What more can I say?!)


So how was it to work with such celebrated musicians as Larry Goldings, Bob Mintzer, Jimmy Johnson & Peter Erskine? I’m sure that not only did they make your life easier but it must have been a pleasure to jam with them at long last.

D: Yes, it was a very different and new vibe for me to play with such legendary musicians. We didn’t jam at all, we just played my written compositions live, and I guess they loved what they played and really enjoyed the session.
 
Dewa Budjana & the crew pic

Why did you feature a vocal track on the album, and why did you choose Janis Siegel to be the singer? I believe that Janis’s voice was perfect for the song. By the way it is a very beautiful song!

D: Thanks. I’ve known Janis since 1994 when she came to Jakarta and performed at the Jamz Club, and I was in her band. We met again a few years ago at the JavaJazz festival, also in Jakarta, and she remembered me and was happy to accept my invite earlier this year to sing on my album, but I didn’t have any idea that it would end up the way it did. I sent her my tune via e-mail, she liked it and offered to get some lyrics. She arranged a lyricist specially for the tune and then she sang it beautifully.


Are you going to have vocal tracks on your future releases?

D: I’m not sure but you never know. I like the Indian singer Shankar Mahadevan a lot, and if he agrees to sing on an album of mine, I will do it without any hesitation.


You also did an excellent job self-producing the album. Is that something that you prefer to do so as to have the total control of your music? 

D: Yes I produced the album, but actually it all happened spontaneously because when you have top musicians who are great people, and there is a good vibe and magic chemistry then things are easy because there are no ego trips. I produce all my music, for my pop-rock band GIGI as well. Although I feel comfortable with it, I would love to explore the possibilities of someone else producing my music.


Please tell us something about each track.

D: “Cloud of Foggy”: I wrote this song during my trip to Mount Bromo, where you can immerse yourself in clouds and feel their magic on you.

“Joged Kahyangan”: This is about a dance in Paradise, and my native place Bali is the paradise itself.

“Dang Hyang Story”: This is the story about the introduction of Hinduism in Bali.

“As You Leave My Nest” (feat. Janis Siegel)Magic happens when you give freedom to an amazing singer to create words and to sing beautifully.

“Majik Blue”: This is my dedication to my favorite guitar, my blue Parker, I have over 100 guitars.

“Erskoman”: I wrote this song for Peter Erskine, a dear friend, who first recorded with me in 2002 on my album “Samsara”.

Guru Mandala”: This is about good companionship and fellowship.

“Borra’s Ballad”: This is a ballad for my lovely wife Borra.


How would you define your music style? Do you follow any kind of principles or is it about the timing and the inspiration you have at the certain moment?

D: It’s all about inspiration and of course about moods, and I am always in a good mood to be inspired.


Now that you have found your way in the US & Europe can you say that it’s another challenging period for you? Did you always have in mind to make an opening to Western world?

D: Thanks to Leonardo, I’ve got exposure in the USA and all around Europe, and also in Latin America, especially in Brazil, as well as in Japan. My music is not ethnic nor is it confined to one place; it’s cosmopolitan, open minded and it belongs to the world. I’m very happy to travel in the rest of the world outside Indonesia and record and perform with great musicians from all over the planet. And in Leonardo I’ve found a perfect ally since he is like me, a citizen of the world.


What are your current plans? Will there be any live shows?
I will be busy with my rock band GIGI, celebrating our 20th anniversary in 2014 and recording a milestone album in the famous Abbey Road studios in London later this year. Once I’ve paid my dues to GIGI, Leonardo and I will find a way to record more, and play more internationally. As I said, we have a big picture plan, we are not rushing, we are patient and we’ll make it happen sooner or later. We are totally relaxed and there is no pressure whatsoever.